Tahun 2084: Ketika GBO4D Menjadi Algoritma Penentu Nasib Warga Negara
Tahun 2084: Ketika GBO4D Menjadi Algoritma Penentu Nasib Warga Negara
Blog Article
Bab 1: Hari Saat Semua Diatur Oleh Peluang
Tahun 2084. Negara telah berubah.
Ujian nasional sudah lama dihapus.
CV tak lagi berlaku.
Sertifikat tidak menentukan masa depan.
Yang menentukan?
Skor GBO4D — sistem peluang nasional berbasis algoritma kuantum.
Bab 2: GBO4D Bukan Lagi Situs, Tapi Sistem Hidup
Setiap warga negara wajib melakukan GBO4D login setiap Senin dan Kamis.
Bukan untuk bermain. Tapi untuk:
-
Mendapat izin pengajuan kerja
-
Memperoleh akses subsidi energi
-
Mengatur jumlah anak
-
Menentukan lokasi pemukiman
Pemerintah menyebutnya:
“Nasib terkomputasi.”
Bab 3: Tokoh Kita – Ranu, Warga Biasa
Ranu, 23 tahun, tinggal di Zona 3 Jakarta Ekologis.
Ia baru saja login ke sistem GBO4D.
Matanya menatap layar sambil berdoa dalam hati.
“Jika skorku tinggi hari ini, aku bisa keluar dari pabrik limbah dan pindah ke distrik seni.”
“Jika tidak... aku tetap di barak tanpa sinar matahari.”
Bab 4: Ketika Keberuntungan Menjadi Identitas
Setiap orang kini punya kode nasib, hasil dari ribuan login GBO4D selama hidup mereka.
Orang tidak lagi dikenal dari namanya, tapi dari Skor GBO mereka.
-
Skor 900+ = elit urban
-
Skor 600–800 = kelas pekerja terlatih
-
Skor 300–500 = pekerja kasar
-
Di bawah 300? Tidak mendapat akses jaringan
Bab 5: Pertanyaan yang Muncul Terlambat
Ranu mulai bertanya-tanya:
“Siapa yang menciptakan algoritma ini?”
“Kenapa kita semua patuh pada angka yang tak kita pahami?”
“Apakah hidup bisa dikalkulasi oleh sistem?”
Pertanyaan-pertanyaan ini membuatnya dicurigai.
Ia dilarang login selama 14 hari.
Itu artinya: kehilangan semua kesempatan.
Epilog: Harapan Masih Ada?
Di balik layar, sekelompok peretas sedang mencoba membebaskan masyarakat dari sistem GBO4D.
Mereka percaya bahwa nasib tak bisa dimonopoli oleh satu algoritma.
Dan di antara mereka, ada Ranu — mantan pemimpi digital yang kini jadi simbol perlawanan.
Penutup
GBO4D dalam cerita ini bukan sekadar situs,
melainkan metafora ekstrem tentang dunia yang terlalu percaya pada sistem dan mengabaikan intuisi, empati, dan keberanian manusia.
Cerita ini fiksi. Tapi pertanyaannya nyata:
Report this pageSeberapa jauh kita rela menyerahkan nasib kita ke tangan sistem digital yang tak kita pahami sepenuhnya?